Masalah Lahan Plasma Sawit di Riau Masih Mengakar, Pegiat Lingkungan Kritik Transparansi HGU
Riau12.com-PEKANBARU – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan akan menindak tegas perusahaan perkebunan sawit yang belum menyerahkan lahan plasma kepada masyarakat. Sanksi yang disiapkan tidak main-main, termasuk kemungkinan pencabutan Hak Guna Usaha (HGU) bagi perusahaan yang melanggar.
Namun menurut pegiat lingkungan hidup Riau, Dr Elviriady, masalah lahan plasma bukanlah isu baru. Di Riau, masih banyak perusahaan pemilik HGU yang belum menyerahkan lahan plasma meskipun telah beroperasi puluhan tahun.
“Isu ini bukan sesuatu yang baru di Riau. Bila pun ada, paling hanya sekitar lima persen. Pak Menteri, ATR/BPN bisa cek langsung ke Riau,” ujarnya, Rabu (29/10/2025).
Ancaman pencabutan HGU disampaikan Nusron Wahid saat menghadiri Rapat Koordinasi bersama Gubernur dan Bupati/Wali Kota se-Kalimantan Timur di Samarinda, Jumat (24/10/2025). Dalam pertemuan tersebut, kepala daerah di Kaltim juga mengakui masih banyak perusahaan sawit yang belum menyerahkan lahan plasma kepada petani lokal.
Elviriady menegaskan kondisi serupa terjadi di Riau dan bahkan lebih parah. Ia mencontohkan kasus di Rupat, Kabupaten Bengkalis, di mana masyarakat Desa Darul Aman menuntut hak lahan plasma dari PT Priatama Riau, pemilik HGU seluas 4.600 hektar.
“Kabar baiknya, perjuangan masyarakat di sana membuahkan hasil setelah perusahaan setuju menyerahkan plasmanya. Namun di daerah lain, banyak lahan plasma yang tidak pernah diserahkan,” ujarnya.
Menurut Elviriady, seharusnya sanksi bagi perusahaan yang tidak menyerahkan lahan plasma sudah diterapkan sejak lama. Namun, kenyataannya pemerintah justru sering memberikan izin perpanjangan HGU. Hal ini menimbulkan kesan pemerintah tutup mata terhadap masalah yang terjadi di lapangan.
Ia juga menyoroti peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau yang memegang peranan penting, karena setiap izin HGU harus melalui rekomendasi lembaga ini sebelum diterbitkan pemerintah pusat. Namun menurutnya, BPN Riau belum menunjukkan transparansi yang diharapkan. Informasi terkait HGU sulit diperoleh masyarakat, dan kondisi serupa kadang terjadi pada lembaga pemerintah lainnya.
“Tidak semua seperti itu, tapi kondisi ini membuka celah bagi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan,” tegasnya. Fakta menunjukkan dugaan permainan dalam pengurusan HGU memang ada, salah satunya karena mantan pejabat BPN Riau pernah tersandung kasus dugaan suap terkait HGU.
Elviriady menekankan pentingnya keterbukaan informasi dalam setiap hal yang terkait HGU. Dengan transparansi, masyarakat bisa memantau perusahaan sawit yang mengajukan perpanjangan HGU, sekaligus memastikan apakah lahan plasma telah diserahkan atau belum.
Selain itu, untuk menuntaskan masalah lahan plasma, Elviriady menyarankan keterlibatan kaum intelektual. Mereka dapat mendampingi masyarakat memahami regulasi agar hak atas lahan plasma tidak terabaikan.
“Keberadaan kaum intelektual sangat penting ketika masyarakat menghadapi regulasi. Jangan sampai mereka dibuat terombang-ambing karena kurang paham aturan yang berlaku,” pungkasnya.
Komentar Anda :