Guru Besar Malaysia: Kebijakan Industri Halal Mesti Terintegrasi
Sabtu, 29-08-2015 - 15:45:52 WIB
 |
Guru Besar Bioteknologi International Islamic University (IIU) Malaysia, Prof. DR. Ir. H. Irwandi Jaswir, MSc saat seminar di UIR. Foto : RTC
|
PEKANBARU, Riau12.com-Guru Besar Bioteknologi International Islamic University (IIU) Malaysia, Prof. DR. Ir. H. Irwandi Jaswir, MSc menyebutkan, sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia mestinya memiliki program sertifikasi industri halal yang terintegritas.
Hal itu diungkapkannya saat menjadi pembicara tunggal "Seminar Perkembangan Industri Halal" di aula Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Riau (UIR), Sabtu (29/8/15).
Menurut Irwandi, Indonesia tidak menikmati kue industri halal dunia karena kesadaran masyarakatnya masih belum cukup tinggi. Padahal sebagai negara yang jumlah penduduknya paling banyak umat Muslim, mestinya Indonesia memerankan industri halal di dunia.
"Potensi kita itu sangat besar. Sebabnya 230 juta jiwa penduduk Indonesia, kaum muslim yang terbesar. Tapi ironisnya, mengapa negara negara non muslim yang menjadi leading di industri halal," sebutnya.
Irwandi yang menyelesaikan pendidikan SMA di Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) dan menyelesaikan program doktoralnya di Kanada dan post doktoral di Jepang, justru melihat negara Thailand, Korea, Brazil, Australia yang menikmati industri halal. Makanan halal tidak hanya dikonsumsi orang muslim tapi juga nonmuslim.
"Bahkan, jika Indonesia tidak hati-hati soal sertifikasi halal, suatu saat kita lah yang belajar ke Jepang. Karena Jepang mulai serius menerapkan produk dan jasa halal. Mereka terus melakukan pelatihan-pelatihan soal produk dan jasa halal yang terdiri makanan, kosmetik, pakaian dan jasa pariwisata," ucapnya.
Begitu juga Korea. Menurut Irwandi, negara tersebut kini tengah menjalin kerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi Islam di Asia untuk mengembangkan industri halal, terutama di bidang wisata kuliner. Lalu bagaimana di Indonesia?
Menurut Guru Besar IIU Malaysia berusia 44 tahun ini, sertifikat halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tapi karena MUI bukan instansi pemerintah, ia hanya lembaga independen, masih banyak industri yang tidak mengurus sertifikat halal tersebut. Lagi pula, tidak ada transparansi berapa biaya yang diperlukan dalam mengurus sertikat halal tersebut.
"Kalau di Malaysia, mengurus sertifikat halal cukup mudah. Biayanya juga bisa dilihat secara online dan itu pun tidak mahal. Sehingga pelaku industri tidak merasa terbebankan saat mengurus sertifikat halal tersebut," ungkapnya seperti di kutip dari riauterkini.com.
Irwandi mengingatkan masalah produk atau industri halal ini merupakan konsen kita semua sebagai umat Islam. Sebab Halal itu tidak segampang seperti dulu. Karena sekarang industri sudah banyak menggunakan teknologi.
Seperti produk yang bahannya berasal dari babi. Hampir semua bagian dari babi digunakan untuk industri. Kulit bisa dipakai, enzim bisa dipakai untuk makanan seperti aroma cokelat dan keju. "Jadi yang dituntut sekarang adalah fokus dan kesadaran kita terhadap industri halal itu sendiri," pungkasnya.
Sementara itu, Pembantu Rektor II UIR, Dr Nurman, MSi menyatakan, pihaknha merasa tersanjung karena diberikan kesempatan pertama membedah industri halal.
"Kita bersyukur karena UIR, satu satunya perguruan swasta di Wilayah Kopertis X yang mendapat kesempatan pertama untuk membedah industri halal. Ternyata industri halal itu tidak hanya berbentuk produk, tetapi juga berbentuk jasa," ujarnya.(r12/rtc)
Komentar Anda :