Riau12.com-PEKANBARU – Aksi Kamisan Pekanbaru menyoroti pemutusan hubungan kerja (PHK) mendadak terhadap honorer Universitas Riau (Unri). Para pegawai honorer yang telah bekerja hingga enam tahun diberhentikan tanpa surat resmi dan digaji di bawah Upah Minimum Kota (UMK).
Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Unri, Yuana Nurulita sebelumnya mengakui adanya puluhan pegawai honorer atau pegawai pemerintah non-pegawai negeri (PPNPN) yang dirumahkan sejak Februari 2025. Pihak rektorat berdalih keputusan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2024 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (SE MENPANRB). Selain itu, alasan lainnya mencakup kurangnya masa kerja, ketidaksesuaian usia, serta tidak memiliki ijazah yang memenuhi syarat kualifikasi.
Zainul Akmal, salah satu honorer dosen di Fakultas Hukum Unri, menilai PHK tersebut cacat prosedur dan bertentangan dengan hukum. Dalam diskusi Aksi Kamisan, ia mengkritik langkah rektorat, mengacu pada Pasal 66 UU ASN yang seharusnya mewajibkan verifikasi, validasi, dan pengangkatan pegawai non-ASN, bukan malah memberhentikan mereka.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 119/PUU-XXII/2024 juga menegaskan bahwa pegawai honorer yang tidak terdaftar dalam database tetap berhak atas perlindungan dan proses pengangkatan menjadi PPPK. Namun, SE MENPANRB justru diduga bertentangan dengan putusan tersebut, karena melarang perpanjangan kontrak dan penganggaran gaji honorer tanpa adanya kejelasan proses pengangkatan.
Selain itu, Zainul menyoroti kejanggalan dalam keputusan Unri, seperti penggunaan istilah "dirumahkan" yang dinilai sebagai upaya menghindari tanggung jawab atas hak pegawai honorer. Ia juga menekankan bahwa PHK seharusnya disertai Surat Keputusan (SK), yang menjadi syarat penting dalam pencairan dana BPJS Ketenagakerjaan.
"Bagaimana mungkin seorang ibu tega terhadap para honorer yang memiliki tanggungan keluarga? SK PHK adalah alat bagi mereka untuk mendapatkan haknya. Ini bukan hanya soal pekerjaan, tapi soal kemanusiaan," ujar Zainul.
Ia juga mengungkapkan bahwa honorer Unri tidak menerima gaji sejak Januari 2025, meski tetap bekerja. Hal ini menunjukkan ketidakjelasan kebijakan kampus dan menambah beban ekonomi bagi mereka yang terdampak.
Lebih lanjut, Zainul menduga Unri tidak melaporkan pegawai honorer mereka ke MENPANRB, yang menyebabkan banyak dari mereka tidak terdata di database BKN. "Ini bukan kesalahan pegawai honorer, tetapi kesalahan administrasi pihak rektorat," tegasnya.
Kasus ini telah dilaporkan kepada Presiden, Wakil Presiden, MENPANRB, serta anggota DPR dan DPD RI. Zainul berharap para Senat Universitas Riau, termasuk profesor, doktor, dan pejabat akademik lainnya, peduli terhadap peristiwa ini. "Jika mereka yang disebut sebagai guru bangsa tidak bersuara, maka kita patut mempertanyakan moralitas akademik kita," ujarnya.
Ke depan, Zainul berencana membawa permasalahan ini ke Dinas Ketenagakerjaan, Ombudsman RI, Mahkamah Konstitusi, dan Direktorat Pendidikan Tinggi. Ia juga mengajak pegawai honorer lain yang terdampak untuk tidak takut bersuara demi hak-hak mereka.
Harapan Zainul:
1. Pemerintah mengakomodasi hak-hak honorer sesuai dengan UU ASN dan Putusan MK.
2. DPR, DPD, dan MK mendorong pemerintah menjalankan kewajibannya terhadap honorer.
3. Rektor Unri menafsirkan SE MENPANRB agar tidak bertentangan dengan UU ASN dan Putusan MK serta mempekerjakan kembali honorer yang telah di-PHK.(***)
Sumber: Goriau
Komentar Anda :