Polemik Tapal Batas di Rohul, Tokoh Masyarakat: Sejarah dan Bukti Lapangan Diabaikan
ROHUL-Riau12.com – Polemik tapal batas antara Desa Bangun Purba Timur Jaya (BPTJ), Kecamatan Bangun Purba, dan Desa Menaming, Kecamatan Rambah, kembali mencuat ke permukaan.
Tokoh masyarakat BPTJ Makmur Nasution, yang dikenal dengan gelar adat Maraja Timbalan Na 7 Huta, secara tegas menyatakan penolakannya terhadap klaim sepihak Desa Menaming atas sebagian wilayah yang selama ini diyakini sebagai bagian sah dari Bangun Purba Timur Jaya.
Makmur menegaskan, batas asli antara kedua desa terletak di seberang Sungai Batang Lubuh, tepatnya di wilayah RW 3, Dusun Tanjung Berani. Menurutnya, sungai tersebut bukan hanya sekadar aliran air, melainkan telah lama menjadi batas alami dan historis yang diakui secara turun-temurun oleh masyarakat adat.
Ia juga menyebut, adanya tanda batas alami berupa deretan pohon bambu yang ditanam oleh leluhur sebagai penanda wilayah adat.
“Batang Lubuh adalah batas alam yang tidak bisa diubah begitu saja. Sejak dulu, wilayah RW 3 Tanjung Berani itu sudah dikenal milik Bangun Purba Timur Jaya. Itu bukan klaim sepihak dari kami, tapi fakta sejarah yang diwariskan oleh nenek moyang kami,” tegas Makmur, Selasa (29/7/2025).
Ia menilai, dalam proses penetapan batas administrasi desa yang diatur melalui Peraturan Bupati (Perbup) tahun 2019, pemerintah seolah mengabaikan fakta-fakta di lapangan. Padahal, menurutnya, sebelum ada batas administratif, masyarakat hanya mengenal tanah ulayat atau wilayah adat yang dijaga dan dihormati lintas generasi.
Masyarakat Bangun Purba Timur Jaya berharap agar persoalan tapal batas ini tidak diputuskan secara sepihak, melainkan melalui dialog terbuka yang melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat adat yang mengetahui sejarah wilayah tersebut secara langsung.
Mereka menginginkan agar revisi dapat dilakukan secara adil, transparan, dan tidak menimbulkan ketegangan sosial di tengah masyarakat.
“Jangan sampai ketidaksepahaman soal batas ini memicu konflik atau ketidaknyamanan. Tapal batas itu seharusnya disepakati bersama, bukan dipaksakan,” pungkas Makmur.
Sebagai bentuk keberatan resmi, sejumlah tokoh adat dan perwakilan masyarakat bersama Kepala Desa Bangun Purba Timur Jaya Syaiful Hadi, telah mengajukan surat keberatan ke Bagian Administrasi Wilayah (Adwil), Sekretariat Daerah Kabupaten Rokan Hulu, Senin (28/7/2025).
Mereka meminta agar pemerintah daerah melakukan kajian ulang terhadap penetapan batas tersebut secara menyeluruh dan melibatkan seluruh unsur masyarakat yang terdampak.
Kepala Desa BPTJ Syaiful Hadi dalam keterangannya menegaskan, titik koordinat yang ia tandatangani pada saat proses pelacakan batas bukanlah kesepakatan final. Ia menyebut dokumen itu hanya bagian dari proses awal pelacakan batas administratif antara Desa Menaming dan BPTJ, bukan hasil musyawarah atau kesepakatan yang sah.
Ia bahkan menyayangkan bahwa proses penetapan tersebut dilakukan tanpa musyawarah terbuka yang melibatkan masyarakat secara langsung.
Syaiful juga mengungkapkan adanya sejumlah bukti fisik yang memperkuat klaim wilayah Bangun Purba Timur Jaya. Di antaranya adalah bangunan fasilitas air bersih atau PAM Pemerintah yang dibangun pada tahun 2019 atas nama Desa BPTJ, namun kini berada di area yang justru diklaim masuk ke wilayah Menaming.
Selain itu, terdapat juga patok kuning resmi milik pemerintah yang telah dipasang sebelum 2019 dan masih berada dalam kawasan administratif BPTJ.
Menanggapi keberatan yang disampaikan masyarakat dan pemerintah desa BPTJ, Kepala Bagian Administrasi Wilayah Setdakab Rokan Hulu Muhamad Franovandi menjelaskan, penetapan batas desa telah dilakukan sesuai dengan Peraturan Bupati tahun 2019.
Ia menyatakan bahwa pemerintah tidak memihak pada desa manapun dan tetap berpegang pada regulasi yang telah ditetapkan secara resmi. “Pemerintah tidak pro kepada Desa Menaming maupun kepada BPTJ. Tapal batas tetap mengacu pada Perbup yang sudah ditetapkan oleh Bupati tahun 2019,” ujarnya singkat.(***)
Suy: Cakaplah
Komentar Anda :