Pasien Sesak Napas Ditolak RSUD Rasidin Padang Meninggal Sebelum Tiba di RS Kedua: Dimana Empati Layanan Publik?
Riau12.com-PADANG – Kasus meninggalnya seorang pasien pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS) bernama DE (44), warga Padang, Sumatera Barat, memicu keprihatinan luas usai viral di media sosial. DE diduga ditolak mendapatkan perawatan darurat oleh RSUD Rasidin Padang pada Sabtu dini hari (31/5/2025), meski datang dalam kondisi sesak napas parah.
Menurut kesaksian sang adik, Yudi, DE dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Rasidin sekitar pukul 00.15 WIB karena mengalami gangguan pernapasan yang serius.
"RSUD Rasidin adalah rumah sakit terdekat. Kami datang karena kondisi kakak saya semakin parah," ujar Yudi.
Namun, pihak rumah sakit justru menyatakan bahwa kondisi DE tidak termasuk dalam kategori gawat darurat, sehingga tidak bisa ditanggung oleh BPJS dan disarankan untuk dirujuk ke puskesmas.
Karena merasa tidak mendapat pertolongan yang memadai, keluarga memutuskan untuk membawa DE pulang. Namun situasi memburuk. Pagi harinya, DE kembali dibawa ke Rumah Sakit Siti Rahmah Padang menggunakan becak motor (bentor), namun nyawanya tak tertolong.
"Saya sangat menyayangkan keputusan RSUD Rasidin. Menurut saya, kondisi kakak saat itu cukup kritis, tapi disebut tidak darurat,” ungkap Yudi.
Menanggapi viralnya kasus tersebut, Direktur RSUD Rasidin, Desy Susanti, membenarkan bahwa pasien memang sempat datang ke IGD. Namun, hasil penilaian medis menyatakan DE tidak dalam kondisi gawat darurat.
“Pasien diperiksa dokter dan tidak ditemukan kondisi yang mengancam nyawa saat itu. Maka sesuai prosedur BPJS, disarankan ke puskesmas,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa seluruh proses telah dilakukan sesuai standar operasional dan penilaian dokter yang bertugas.
Kasus ini menimbulkan polemik luas di media sosial, dengan sorotan tajam terhadap batasan definisi gawat darurat dalam sistem layanan BPJS, serta prosedur penolakan pasien yang datang di luar jam layanan puskesmas.
Tak sedikit warganet mempertanyakan apakah “penilaian medis” tersebut sudah mencerminkan empati dan keselamatan pasien, terutama bagi warga kurang mampu yang sangat bergantung pada fasilitas kesehatan pemerintah.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Dinas Kesehatan Sumatera Barat maupun BPJS Kesehatan terkait tindak lanjut atau evaluasi terhadap kasus ini.
Tragedi DE menjadi pengingat bahwa sistem kesehatan harus berpihak pada perlindungan nyawa, bukan sekadar administrasi prosedural. Ketika akses dan empati absen di saat genting, masyarakat kecil selalu jadi korban.(***)
Sumber: Goriau
Komentar Anda :