Ekspor Riau Tembus Rp228 Triliun, Tumbuh 24 Persen: CPO Jadi Penopang, Impor Justru Melemah Sabtu, 04/10/2025 | 14:36
Riau12.com-PEKANBARU – Perekonomian Riau terus menunjukkan tren positif. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor Provinsi Riau sepanjang Januari–Agustus 2025 mencapai US$14,22 miliar atau sekitar Rp228 triliun (kurs Rp16.000 per dolar AS). Angka ini melonjak 24,38 persen dibanding periode sama tahun lalu.
CPO Masih Raja, Pasar Semakin Beragam
Minyak nabati, khususnya crude palm oil (CPO) dan turunannya, masih menjadi penyokong utama ekspor Riau. Sepanjang delapan bulan pertama 2025, ekspor minyak sawit mencapai US$2,65 miliar, melonjak 50,35 persen dibanding tahun sebelumnya.
Produk lain juga menunjukkan kinerja impresif, seperti **buah-buahan (naik 80,58 persen) dan bahan kimia (naik 42,18 persen).
Dari sisi tujuan ekspor, Tiongkok tetap menjadi pasar terbesar dengan nilai US$2,01 miliar, disusul India (US$1,31 miliar) dan Malaysia (US$977 juta). Namun yang menarik, pasar nontradisional seperti Bangladesh dan Brasil** justru mencatat lonjakan tertinggi, masing-masing 156,32 persen dan 270,26 persen.
“Diversifikasi pasar memberi ruang perlindungan bila terjadi gejolak di pasar utama. Ini pertanda positif,” kata Gatot.
Pasar ASEAN juga makin kuat dengan total ekspor US$2,49 miliar, tumbuh 57,82 persen. Gatot menyebut hal ini menandai pergeseran penting arah perdagangan Riau.
“Riau bukan hanya bergantung pada Tiongkok dan India, tapi juga mulai memanfaatkan integrasi ekonomi ASEAN,” jelasnya.
Impor Turun Tajam, Sinyal Ganda bagi Ekonomi
Sementara itu, kinerja impor Riau justru melemah. Total impor selama Januari–Agustus 2025 hanya US$1,10 miliar, turun 17,07 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Penurunan tajam terjadi pada Agustus yang anjlok 36,08 persen menjadi US$123 juta.
Impor barang modal dan barang konsumsi bahkan tertekan lebih dari 60 persen, sedangkan bahan baku dan penolong turun 3,79 persen.
Menurut Gatot, data ini menyimpan dua makna.
“Pertama, bisa jadi industri lokal makin efisien karena mampu memenuhi kebutuhan bahan baku dalam negeri. Tapi di sisi lain, penurunan barang modal menandakan investasi baru mulai melambat,” paparnya.
Ia menilai, penurunan impor barang modal seperti mesin dan peralatan industri adalah sinyal yang perlu diwaspadai.
“Kalau turun 61 persen, artinya ekspansi industri melambat. Dalam jangka panjang, ini bisa menekan daya saing,” jelasnya.
Surplus Melebar, Tapi Ada Risiko
Meski impor turun, surplus perdagangan Riau tetap sangat besar, mencapai US$13,11 miliar sepanjang delapan bulan pertama 2025. Dari jumlah itu, US$12,41 miliar berasal dari sektor nonmigas.
“Surplus ini salah satu yang tertinggi di Indonesia. Riau masih jadi lokomotif ekspor, terutama untuk sawit,” kata Gatot.
Namun, ia mengingatkan bahwa ketergantungan tinggi terhadap sawit membuat Riau rentan terhadap fluktuasi harga global dan kebijakan keberlanjutan Uni Eropa.
“Kalau harga sawit jatuh atau ada hambatan nontarif, dampaknya langsung terasa,” ujarnya.
Perlu Hilirisasi dan Investasi Baru
Gatot menilai, hilirisasi dan diversifikasi ekspor menjadi kunci keberlanjutan ekonomi Riau.
“Jangan sampai ekspor naik, tapi petani dan masyarakat kecil tak merasakan manfaat langsung,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa penurunan impor barang modal bisa menjadi ancaman jangka menengah.
“Kalau investasi baru tak masuk, tiga sampai lima tahun ke depan ekspor bisa stagnan. Riau butuh iklim investasi yang kondusif dan kepastian hukum,” katanya.
Menutup pandangannya, Gatot menyimpulkan:
“Ekspor tumbuh tinggi, impor turun, dan surplus melebar. Ini kabar baik, tapi di baliknya ada sinyal perlambatan investasi. Pemerintah harus menyiapkan kebijakan antisipatif sejak dini.”
Dengan capaian hingga Agustus, Riau berada di jalur positif untuk mencetak rekor ekspor baru pada akhir 2025. Tantangan ke depan adalah menjaga keseimbangan antara pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan ekonomi daerah.