Krisis Ekologi di Lanskap Pesisir Riau, Akademisi Desak Penanganan Cepat Senin, 04/08/2025 | 09:35
Riau12.com-PEKANBARU – Kawasan pesisir Riau tengah menghadapi krisis ekologis yang makin mengkhawatirkan. Dengan garis pantai sepanjang lebih dari 2.000 kilometer, kawasan ini terancam abrasi, penurunan permukaan tanah, serta kerusakan ekosistem mangrove dan gambut.
Diperkirakan sepanjang 482 kilometer pesisir telah terdampak abrasi. Penurunan permukaan tanah (subsiden) mencapai 3–5 cm per tahun atau lebih dari 30 cm dalam 10 tahun. Dari sekitar 422.600 hektare kawasan gambut, sekitar 98 persen berada dalam kondisi rusak berat hingga sedang. Selain itu, sekitar 155.540 hektare mangrove di Riau terdegradasi, dan dari total 2,4 juta hektare gambut lindung, hanya 0,45 persen yang masih dalam kondisi baik.
Meski situasi genting, harapan muncul melalui gerakan restorasi kontinum lanskap pesisir yang mulai digerakkan secara terpadu oleh berbagai pihak.
"Lanskap pesisir Riau menyimpan kekayaan luar biasa. Tapi tanpa intervensi cepat dan sistematis, kita bisa kehilangan bukan hanya ekosistemnya, tapi juga warisan peradaban," ujar Akademisi Lingkungan dari Universitas Riau dan anggota International Tropical Peatlands Center, Prof Dr Haris Gunawan, MSc, dalam forum kolaboratif di Pekanbaru, Rabu (31/7/2025), yang dimoderatori Dr M Rawa El Amady, MA.
Forum ini merupakan diskusi rutin daring yang dikoordinasikan oleh Dr Husni Mubarak, ST, MSc, CST, IPP dan diikuti komunitas lingkungan hidup serta Bappeda Riau.
Menurut Haris, pendekatan yang digunakan tidak hanya berfokus pada penanaman mangrove, tetapi juga memulihkan kontinum lanskap dari hulu ke hilir yang mencakup gambut tropis, rawa, hingga pesisir laut. Upaya ini juga menyentuh aspek daratan yang terkait industri sawit dan hutan tanaman industri.
"Kalau satu bagian rusak, seluruh sistem akan runtuh. Ini bukan hanya soal mangrove atau gambut, tapi tentang keberlanjutan satu lanskap utuh," jelasnya.
Kerusakan lanskap pesisir Riau terjadi secara masif. Advisor CSR & Communication EMP, Drs Amru Mahalli, MM, menyebut konversi hutan mangrove menjadi tambak dan kawasan industri meningkat, disertai pencemaran laut, sedimentasi, serta lemahnya pengendalian tata ruang.
"Pesisir kita kehilangan fungsi ekologisnya sebagai benteng alami. Jika ini dibiarkan, maka banjir rob, intrusi air laut, hingga gagal panen menjadi ancaman nyata," kata Amru.
Ancaman lainnya berasal dari lahan gambut yang terus mengering akibat pembukaan lahan. Studi Deltares menunjukkan subsiden gambut mencapai 3–5 cm per tahun. Artinya, dalam satu dekade, permukaan tanah bisa turun lebih dari 30 cm, memperbesar risiko banjir di wilayah seperti Pulau Padang dan Pulau Rupat.
Sebagai langkah strategis, berbagai inisiatif mulai dijalankan. Rehabilitasi mangrove secara masif berlangsung di titik-titik kritis seperti Bengkalis dan Kepulauan Meranti. Program perhutanan sosial pun melibatkan masyarakat dalam perlindungan kawasan.
"SK perhutanan sosial telah diterbitkan bagi beberapa kelompok masyarakat adat. Ini penting untuk menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama," tegas Amru.
Prof Haris juga mempromosikan model Living Peat Laboratory di Lanskap Rumah Runding sebagai pusat studi restorasi sekaligus destinasi wisata edukatif. Pemulihan hidrologis gambut dilakukan sembari mengembangkan produk ekonomi hijau.
Gerakan restorasi ini juga membuka peluang ekonomi baru melalui skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Restorasi Ekosistem (PBPH-RE). Hingga pertengahan 2023, lima PBPH-RE di Riau mengembangkan bisnis karbon, ekowisata, dan hasil hutan bukan kayu.
Produk olahan mangrove seperti sirup, sabun, dan eco-print mulai menjadi sumber penghasilan. Ekowisata mangrove di Bengkalis misalnya, sukses menarik wisatawan sambil meningkatkan kesadaran lingkungan.
Dalam restorasi lanskap, pendekatan budaya juga penting. Haris menyoroti potensi revitalisasi tanaman sagu sebagai pangan lokal pesisir.
"Sagu bukan sekadar makanan, tapi simbol ketahanan dan sejarah Melayu sejak abad ke-7. Ini perlu kita hidupkan kembali," ujarnya.
Kabupaten Meranti, Siak, dan Indragiri Hilir disebut berpotensi menjadi pusat kebangkitan sagu nasional, asalkan didukung kebijakan dan anggaran pemerintah daerah.
Untuk memperkuat upaya restorasi, akademisi dan praktisi mengusulkan pembangunan sistem pemantauan subsiden permanen di lokasi-lokasi kunci. Data real-time dari alat ini sangat dibutuhkan untuk merespons cepat perubahan tanah dan potensi banjir rob.
Keduanya sepakat bahwa keberhasilan restorasi butuh koordinasi lintas sektor, pembiayaan jangka panjang, dan penegakan hukum.
"Koordinasi antarlembaga, pembiayaan jangka panjang, dan penegakan hukum adalah kunci keberhasilan," kata Amru.
Meski tantangan besar, kolaborasi semua pihak diyakini mampu memulihkan bentang alam pesisir Riau. Upaya ini bukan hanya menyelamatkan ekosistem, tapi juga membangun ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir.
"Restorasi ini bukan proyek jangka pendek. Ini perjuangan kolektif menyelamatkan masa depan," tegas Haris.
Pertemuan yang digelar di Pekanbaru pada 31 Juli 2025 itu pun menyepakati satu slogan sebagai pengingat bersama "Lanskap yang utuh, kehidupan yang tangguh". (***)