Parkir Mahal di Stadion Utama Riau, Pengamat: Jukir Bukan Pengemis, tak Perlu Dikasihani Kamis, 17/07/2025 | 10:05
Riau12.com-PEKANBARU – Ketimpangan antara regulasi dan praktik di lapangan terus terjadi di Pekanbaru. Terkhususnya praktik pungutan liar di kawasan Stadion Utama Riau menjadi sorotan. Masyarakat dibebani tarif parkir yang tak sesuai dengan Peraturan Wali Kota (Perwako) Nomor 2 Tahun 2025 yang menetapkan tarif resmi Rp1.000 untuk motor dan Rp2.000 untuk mobil.
Namun fakta di lapangan berkata lain. Di area parkir sekitar Stadion Utama Riau, tarif yang diterapkan melonjak dua kali lipat hingga Rp5.000. Dua orang juru parkir yang ditemui GoRiau.com pada Selasa (15/7/2025), menggunakan nama samaran Bujang dan Ucok, mengaku hanya mengikuti sistem setoran harian. Dari penghasilan Rp150 ribu sehari, mereka harus menyetor Rp100 ribu, dengan pembagian yang disebut untuk “pengelola” dan “Dishub”.
“Rp50 ribu katanya untuk pengelola, Rp50 ribu lagi untuk Dishub. Sisanya tinggal Rp50 ribu, itu pun dibagi dua,” ujar Bujang.
Pernyataan ini tidak hanya menyingkap adanya praktik pungli, tetapi juga mempertanyakan peran negara sebagai pengatur dan pengawas. Hal tersebut mendapat perhatian dari pengamat Sosiologi Universitas Riau sekaligus dosen Sosiologi, Robi Armilus.
“Kondisi perparkiran di Kota Pekanbaru menunjukkan adanya ketimpangan antara regulasi dan realitas. Ini bukan semata masalah teknis, tetapi mencerminkan lemahnya implementasi kebijakan dan kurangnya kontrol dari pemerintah sebagai regulator, serta lemahnya kontrol sosial dari masyarakat,” kata Robi kepada GoRiau.com, Rabu (16/7/2025).
Menurut Robi, praktik yang terjadi di Stadion Utama Riau adalah bentuk deviasi sosial, merujuk pada teori sosiolog Robert K. Merton. Deviasi ini terjadi ketika individu atau kelompok menyimpang dari norma sosial demi kepentingan pribadi.
“Ada beberapa penyebab: pertama, adanya kepentingan individu untuk mencari keuntungan dengan menaikkan tarif dan melakukan pungli. Kedua, lemahnya kontrol sosial dari masyarakat. Ketiga, implementasi kebijakan yang tak berjalan maksimal,” jelasnya.
Ia menyebut praktik ini telah menciptakan normalisasi kesalahan. Warga cenderung membiarkan pelanggaran karena menganggap juru parkir perlu “dibantu”, padahal mereka bekerja di bawah sistem yang semestinya diatur dan diawasi.
“Pola pikir seperti ‘uang dua ribu tak bikin miskin’ justru kontradiktif terhadap upaya penertiban. Juru parkir bukan pengemis, tapi pelayan jasa yang dibayar untuk menjaga kendaraan. Kalau pelayanannya baik, silakan beri tip, tapi bukan karena kasihan,” kata Robi.
Dari sudut pandang teori kontrol sosial, Robi melihat bahwa penolakan masyarakat terhadap praktik parkir yang menyimpang harus dijadikan gerakan sosial yang lebih luas.
“Meningkatnya kesadaran untuk menolak pungli dan parkir ilegal bisa menjadi bentuk kontrol sosial yang efektif. Itu bisa mendorong sistem perparkiran yang lebih tertib dan adil,” tegasnya.
Plt Kepala Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru, Sunarko, sebelumnya sudah menegaskan bahwa seluruh kawasan bahu jalan di sekitar Stadion Utama Riau tetap tunduk pada Perwako. “Tidak ada cerita Rp2.000 untuk motor hingga Rp5.000 untuk mobil,” ujarnya, Senin (15/7/2025).
Namun pernyataan itu tampaknya belum cukup menertibkan praktik di lapangan. Robi menilai, perlu ada tindakan konkret, seperti inspeksi mendadak (sidak), penertiban, hingga pencabutan izin juru parkir yang tidak patuh.
“Pemerintah perlu hadir secara aktif. Penegakan regulasi tanpa aksi adalah sia-sia. Di sisi lain, masyarakat juga harus proaktif. Jangan bayar jika tidak diberi karcis, dan laporkan jika ada pungli. Kita semua punya peran,” tutupnya.(***)