Pernah Fenomenal, Bono di Pelalawan Mulai Ditinggalkan, Akademisi Soroti Gagalnya Tata Pengalaman Wisata Kamis, 10/07/2025 | 09:34
Riau12.com-PEKANBARU – Sungai Kampar di Kabupaten Pelalawan, Riau, pernah menjadi buah bibir dunia. Bukan karena keruhnya air, tetapi karena sebuah fenomena alam langka sebuah ombak raksasa di sungai yang dikenal dengan nama Bono. Ombak ini, yang disebut-sebut bisa mencapai tinggi empat meter, memungkinkan peselancar melaju jauh menyusuri sungai, mirip seperti di lautan.
Pada puncaknya sekitar tahun 2012 hingga 2014, Bono sempat menjadi ikon wisata Riau. Para menteri datang, peselancar mancanegara berdatangan, media internasional pun meliputnya. Namun kini, suara deras Ombak Bono seakan perlahan tenggelam bersama sepinya wisatawan yang pernah menaruh harapan besar.
Menurut Firdaus Yusrizal, akademisi dari Program Studi Usaha Perjalanan Wisata FISIP Universitas Riau, Bono adalah contoh konkret daya tarik wisata besar yang gagal dikelola menjadi pengalaman utuh.
“Bono itu luar biasa. Dia langka. Tapi kita hanya berfokus pada kehebohan ombaknya. Kita lupa membangun apa yang bisa dilakukan orang setelah atau sebelum menonton ombak itu,” ujar Firdaus dalam wawancara dengan Goriau Rabu (09/07/2025).
Firdaus menjelaskan bahwa ombak Bono, meski spektakuler, tidak datang terus-menerus. Dalam sehari, ombak hanya muncul satu atau dua kali, tergantung keadaan. Wisatawan yang datang dan tidak mengetahui jadwalnya bisa kecewa. Yang menyaksikan pun, setelah ombak lewat, tidak tahu harus berbuat apa.
“Di laut, orang surfing jatuh bisa coba lagi. Di Bono, kalau jatuh ya tunggu besok. Nah, pertanyaannya: sambil menunggu itu, apa yang bisa dilakukan?” tambah Firdaus.
Inilah yang disebutnya sebagai kegagalan dalam tata kelola pengalaman wisata. Destinasi tidak hanya butuh atraksi, tetapi juga ekosistem aktivitas yang menyertainya. Bono, menurut Firdaus, hanya berdiri sebagai daya tarik tunggal dan itu tidak cukup.
Selain itu, infrastruktur menuju Bono juga turut menjadi sorotan. Jalanan berlubang dan berlumpur menjadi kendala utama aksesibilitas. Firdaus menyebutkan pengalaman sendiri saat mobilnya terjebak lumpur hingga plat nomor lepas saat mengunjungi wisata Bono. Hal ini menjadi contoh kecil dari persoalan besar yang tidak pernah ditangani serius.
Belum lagi keterbatasan perizinan. Menurut Firdaus, tidak semua wisatawan diperbolehkan berselancar. Ada kekhawatiran keselamatan yang membuat kegiatan utama justru menjadi tidak inklusif. Alih-alih memberi pengalaman, wisatawan justru hanya menonton dan kemudian pulang.
“Kalau wisatawan hanya bisa berdiri di pinggir sungai lalu pulang, lama-lama ya orang bosan. Kita sendiri yang membuat mereka tidak betah,” katanya.
Firdaus menegaskan bahwa kegagalan mengelola Bono seharusnya menjadi pelajaran penting bagi destinasi lain di Riau, termasuk Pacu Jalur yang kini sedang naik daun berkat sosok Anak Coki.
“Jangan sampai kita ulangi pola yang sama: viral sebentar, ramai sesaat, lalu hilang perlahan. Seharusnya kita sudah belajar dari Bono.”
Ia menyebut bahwa sudah banyak laporan penelitian dari para akademisi yang menawarkan solusi dan desain pengembangan pengalaman wisata di Riau. Namun laporan-laporan itu, katanya, seperti hanya menumpuk di rak.
Firdaus menyarankan agar pengelolaan Bono harus kembali ditata. Tidak cukup hanya mengandalkan ombak, tetapi juga menghadirkan aktivitas seperti pelatihan selancar, tur budaya ke desa sekitar, edukasi ekologi sungai, hingga festival tahunan yang berkelanjutan.(***)