Raja Ampat dan Tambang Nikel: Akankah Alam atau Uang yang Menang? Sabtu, 21/06/2025 | 09:47
Riau12.com-JAKARTA – Pencabutan empat izin tambang nikel oleh pemerintah di Raja Ampat disambut sebagai langkah maju, namun kontroversi masih menyelimuti. Penangguhan operasi PT Gag Nikel menunjukkan bahwa konflik belum selesai. Di tengah gencarnya transisi energi global, Indonesia menghadapi dilema: membangun ekonomi hijau dari nikel, atau melindungi salah satu kawasan hayati terkaya dunia.
Raja Ampat dikenal sebagai pusat konservasi laut dan darat. Wilayah ini menjadi rumah bagi 75 persen spesies karang dunia dan komunitas masyarakat adat yang hidup dari laut dan hutan. Namun, aktivitas tambang di kawasan ini, baik legal maupun ilegal, membawa dampak berat: kerusakan ekosistem, pencemaran air, dan gangguan kesehatan.
Persoalannya tidak sesederhana tambang atau tidak tambang, tetapi bagaimana Indonesia mengelola tambangnya. Konsep "green extraction with social justice" harus menjadi prinsip utama: menambang secara berkelanjutan dan adil bagi masyarakat sekitar.
Beberapa negara telah memulai arah ini. Norwegia mengelola sumber dayanya dengan dana abadi negara, Kanada memberikan hak veto pada masyarakat adat, Chile membangun sistem partisipatif di sektor litium, sementara Finlandia dan Swedia menonjolkan transparansi dan teknologi bersih.
Indonesia belum memiliki mekanisme serupa. Banyak izin terbit tanpa partisipasi warga lokal. Legalitas administratif belum tentu mencerminkan legitimasi sosial. Akibatnya, masyarakat sekitar menanggung dampak ekologis tanpa imbal hasil ekonomi yang sepadan.
Atas nama energi hijau, masyarakat adat Papua kehilangan hutan, laut, dan ruang hidupnya. Ini adalah wajah dari ketidakadilan ekologis. Karena itu, moratorium tambang di kawasan konservasi seperti Raja Ampat adalah keputusan rasional, bukan emosional.
Perlu reformasi tata kelola izin. Evaluasi mendalam terhadap izin lama, dan penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) harus dijalankan. Suara komunitas lokal wajib jadi bagian dalam setiap pengambilan keputusan.
Indonesia bukan anti tambang. Namun tambang harus dijalankan di tempat yang tepat, dengan cara yang benar, dan untuk kepentingan rakyat banyak. Jika tidak, transisi energi hanya akan menjadi greenwashing, bukan solusi.
Raja Ampat adalah cermin masa depan kita: apakah Indonesia akan menjadi pemimpin dalam pembangunan berkeadilan, atau sekadar pengorbanan lain dalam peta geopolitik energi dunia.(***)