Walhi Riau Nilai Tawaran Transmigrasi Lokal untuk Warga Rempang Sama dengan Penggusuran Selasa, 22/04/2025 | 12:02
Riau12.com-BATAM – Kunjungan Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman Suryanegara, ke Rempang, Kamis (18/4/2025), menandai tetap berlanjutnya proyek Rempang Eco-City. Dalam kunjungan tersebut, Iftitah membawa tawaran solusi berupa program transmigrasi lokal bagi warga yang terdampak proyek. Namun, program tersebut justru dinilai sebagai bentuk penggusuran terselubung.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau menegaskan bahwa transmigrasi lokal yang ditawarkan tidak berbeda dari pendekatan menteri sebelumnya. Menurut WALHI, pemindahan warga dari kampung asalnya ke lokasi relokasi tetap saja merupakan bentuk penggusuran, yang tidak menyentuh akar persoalan utama di Rempang.
"Program transmigrasi lokal yang ditawarkan sama saja dengan menggusur masyarakat dari kampung tua ke kampung buatan. Ini bukan solusi yang diinginkan masyarakat," ujar Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Riau, Eko Yunanda.
Ia menyebut, pembangunan industri hilirisasi melalui proyek Rempang Eco-City berpotensi menghilangkan identitas kultural dan historis masyarakat adat yang telah bermukim sejak 1834. “Orientasi proyek ini tidak mensejahterakan masyarakat. Justru menimbulkan ketimpangan ruang dan beban lingkungan, terutama bagi nelayan dan petani lokal,” tegasnya.
Eko juga menyampaikan bahwa proyek Rempang Eco-City sejak awal merupakan kongsi bisnis pemerintah yang menimbulkan kekerasan struktural. "Penetapan proyek ini memicu konflik dan telah gagal dalam memenuhi, menghormati, serta melindungi hak masyarakat adat dan tempatan," tambahnya.
Sementara itu, Perwakilan Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB), Ishaka, menyatakan bahwa masyarakat tetap menolak proyek dan segala bentuk relokasinya. Ia menyebut, tawaran transmigrasi lokal tidak dapat menggantikan kehidupan yang sudah mapan di kampung asal.
“Kami sudah nyaman dengan kondisi saat ini. Masuknya proyek Rempang Eco-City justru mengganggu kehidupan kami,” ucapnya.
Ishaka juga menyoroti dampak lingkungan dari pembangunan rumah relokasi di Tanjung Banun. Masyarakat sekitar mengeluhkan rusaknya ekosistem mangrove dan matinya ikan-ikan di keramba akibat limbah lumpur pembangunan. Jika masyarakat dari 16 kampung tua dipindahkan ke satu titik di Tanjung Banun, menurutnya, konflik horizontal antar nelayan tak dapat dihindarkan.
"Para petani juga akan kesulitan melanjutkan pekerjaan mereka jika hanya diberi lahan 500 meter persegi berikut rumah. Ini jelas tidak cukup untuk mempertahankan profesi bertani,” ujarnya.
Ishaka menegaskan bahwa pemerintah lebih mengakomodasi keinginan investor daripada mendengar suara masyarakat yang telah lama menggantungkan hidup pada kekayaan laut dan darat Rempang.
“Yang kami butuhkan bukan relokasi, bukan bujuk rayu. Kami ingin pengakuan negara atas kampung tua di Pulau Rempang dan perlindungan terhadap sumber daya alam kami,” tutupnya.(***)